Selasa, 31 Mei 2011

Merk-merk Produk Tertua Di Indonesia

Ditengah maraknya
persaingan bisnis, ternyata masih
ada beberapa merk yang bertahan
dari ganasnya globalisasi dan
persaingan bisnis di tanah air
indonesia, diantaranya sudah sangat
berumur dan mempunyai brand
merk yang cukup kuat, so Inilah
daftar merk produk tertua yang
pernah ada di indonesia :
BLUE BAND [1936]
BLUE Band pertama kali diproduksi
di Batavia pada 1936. Blue Band juga
menjadi produk makanan pertama
yang dihasilkan Van den Bergh NV,
milik Unilever, gabungan
perusahaan margarin asal Belanda,
Margarine Unie, dan pabrik sabun
Lever Brothers asal Inggris. ”Sejak
pertama kali diluncurkan, Blue Band
sudah menjadi merek kuat yang
memimpin pasar dengan
kompetitor utama mentega dan
margarin impor, seperti
Palmboom,” kata Agus Nugraha,
Brand Manager Blue Band PT
Unilever Indonesia.
PERMEN DAVOS [1931]
Soeyati Soekirman tak pernah
luput membawa Davos. Nenek 68
tahun warga Banyumas ini sudah
puluhan tahun menggemari permen
itu. ”Orang-orang tua memang
konsumen loyal kami,” kata
Nicodemus Hardi, Managing
Director Operasional PT Slamet
Langgeng, produsen permen
Davos. Permen ini dirintis oleh Siem
Kie Djian pada 28 Desember 1931.
Lokasi pabriknya tetap sama hingga
kini: Jalan Ahmad Yani 67, Kelurahan
Kandang Gampang, Purbalingga,
Jawa Tengah. Perusahaan
dilanjutkan anaknya, Siem Tjong
An. Enam tahun berikutnya, bisnis
diteruskan lagi ke anak dan menantu
Tjong An: Toni Siswanto Hardi dan
Corrie Simadibrata. Kini perusahaan
tersebut dipimpin oleh Budi Handojo
Hardi, generasi ketiga pendiri bisnis
ini.
WAJIK WEEK [1939]
Semula, pada 1939, Nyonya Ong
Kiem Lien hanya memasak kue
untuk dijual ke tetangga. Ada wajik,
onde-onde, keripik tempe,
rempeyek kacang, dan jadah (kue
dari ketan dan kelapa parut). Usaha
ini dilanjutkan oleh anaknya, Ong
Gwek Nio, yang kemudian hanya
berkonsentrasi pada wajik.
SIROOP TJAP BUAH TJAMPOLAY
[1936]
Rasanja sedap, baoenja wangi.
Itulah yang tertera dalam kemasan
sirup Tjap Buah Tjampolay.
Minuman legendaris asal Cirebon ini
pertama kali dibuat oleh Tan Tjek
Tjiu pada 11 Juli 1936. Hingga kini
kemasan dan labelnya tak berubah.
SARANG SARI [1934]
Botolnya hijau, mirip botol bir.
Tulisan dalam kemasannya tak
berubah sejak 75 tahun lalu:
Limonadestroop. Sarang Sari,
begitulah nama sirup berbotol
serupa bir itu, bertahan di tengah
gempuran minuman berkarbonat.
Cikal bakal sirup ini dimulai dari De
Wed Bijlsma, pengusaha asal
Groningen, Belanda, yang
mendirikan NV Conservenbedrijf de
Friesche Boerin pada 1934.
TING-TING JAHE [1935]
Njoo Tjhay Kwee menunggang
sepeda pancal mengitari Pasuruan.
Kala itu, tahun 1935, Njoo sedang
merintis usaha kembang gula Sin A
di Pasuruan, Jawa Timur. Kisah ini
dituturkan Dyah Purwaningsih,
General Manager PT Sindu Permata,
perusahaan yang memproduksi
ting-ting jahe. Ayu adalah cucu Njoo
alias generasi ketiga pemilik
perusahaan ini.
TAHU YUN YI [1940]
Dalam bahasa Mandarin, yun yi
artinya bermanfaat atau beruntung.
Perusahaan tahu yang didirikan
pada 1940 itu memang beruntung
masih eksis hingga kini. Bisnis tahu
Yun Yi dirintis oleh Liauw Hon Tjan
di Jalan Jenderal Sudirman Belakang
231, Bandung. Pabrik tahu ini tak
pernah berpindah hingga sekarang.
TEH CAP BOTOL [1940]
Ribuan botol plastik hijau itu
bergerak dalam irama teratur di atas
jalur roda berjalan. Lalu, plop, plop,
plop: letupan mesin memasangkan
plastik kemasan ke satu per satu
botol yang berisi teh amat panas.
Antrean lantas menjalar ke mesin
berikut yang memasangkan tutup
botol. Dari sini jalur roda bergerak
lagi menuju pengemasan akhir.
Maka jadilah teh botol merek Joy Tea
Green, yang siap dikirim ke jutaan
konsumen di seluruh Indonesia
serta mancanegara.
B29 [1930]
Pasar Pagi Jakarta, akhir 1930-an.
Sekumpulan ibu-ibu yang sedang
belanja di Toko Sewu Gunawan
meriung bicara soal sabun. Sabun
Cap Tangan, produk Unilever—
ketika itu satu-satunya sabun cuci
yang beredar di pasar—mendadak
langka. Jikapun ada, harganya
mahal. Para ibu mengeluh: mereka
tak bisa mencuci baju, piring,
bahkan mandi.
DJI SAM SOE [1913]
Rumah kuno itu tak lagi
berpenghuni. Pagarnya tertutup
seng. Ketika didatangi Tempo tiga
pekan lalu, tampak empat petugas
bergantian menjaga rumah. Di
rumah inilah Liem Seeng Tee,
pendiri HM Sampoerna, mengawali
sejarah pada 1927.
Beralamat di Jalan Ngaglik,
Surabaya, rumah ini—selain
menjadi tempat tinggal—dulunya
berfungsi sebagai gudang tembakau
dan pabrik rokok. Selama lima tahun
Seeng Tee menguji berbagai
campuran rempah dan cengkeh di
rumah ini. Dji Sam Soe salah satu
produknya. Dari rumah ini pula Dji
Sam Soe mulai diproduksi secara
masif.
KOPI WARUNG TINGGI [1878]
Beberapa kali berhenti berproduksi,
tetap hidup berkat kepercayaan
pelanggan. Dulu resep lisan, kini
tersimpan di komputer.
Batavia, 1878. Restoran di tepian
Moolen Vliet Oost—kini Jalan Hayam
Wuruk— Jakarta, itu berbeda
dengan bangunan lain di sekitarnya.
Tampak lebih bagus, lebih besar,
dan tinggi. Masyarakat di tepian
Ciliwung lalu menyebutnya
Waroeng Tinggi. Adalah Liaw Tek
Soen, perantau asal Tiongkok, yang
membangun warung itu bersama
istrinya.
KECAP BANGO [1928]
Kemasan diremajakan, rasa
dipertahankan, penetrasi pasar
diperkuat. Jurus inovatif
memperpanjang umur.
Bango itu terbang tinggi. Dari jago
lokal, dia menjadi bintang di tingkat
nasional. Bermula dari pojok
kampung di daerah Benteng,
Tangerang, pada 1928, kini sang
Bango mudah dijumpai di toko
kelontong di hampir seluruh
penjuru Indonesia. Delapan puluh
satu tahun silam, suami-istri Tjoa Pit
Boen (Yunus Kartadinata) dan Tjoa
Eng Nio mengawali cikal bakal Kecap
Bango di rumah mereka di Benteng.
Sayang, jejak awal sudah amat
samar. Napak tilas Tempo di
kawasan Benteng tak menemukan
sarang pertama sang Bango.
SEPATU BATA
Berjam-jam sepatu berbahan
kanvas itu mengendap di ember
penuh air. Basah kuyup, tapi tetap
baik kondisinya. Wilfried
Tampubolon, pemilik sepatu itu,
cuma bisa memandanginya dengan
kecewa. Pupus harapannya untuk
mendapat sepatu baru. ”Dua tahun
sepatu saya tidak diganti, makanya
sepatu itu sengaja saya rendam,”
kata Wilfried tertawa mengenang
kenakalannya semasa kanak-kanak.
Ibunya hanya mau membelikan
sepatu baru kalau sepatu lama
sudah rusak.
BATIK OEY SOE TJOEN (1925)
Pembuatan selembar batik Oey
Soe Tjoen bak ritual panjang.
Awalnya, Muayah, pekerja di situ,
menggoreskan lilin pada motif daun.
Ia lalu menyerahkan hasil kerjanya
kepada sang bos, Widianti Widjaja,
yang lalu memeriksanya dengan
teliti. Bila dianggap oke, kain akan
diambil alih pekerja lain. Ia
meneruskan pekerjaan untuk motif
lain.

1 komentar: