Minggu, 29 Mei 2011

Tela Krezz, Makanan 'Wong Ndeso' Beromset Milyaran Rupiah

Jakarta - Makanan lokal
kadang kala tak terlalu banyak
dilirik oleh banyak orang sebagai
potensi bisnis yang menggiurkan.
Namun lain halnya dengan
Firmansyah Budi, pendiri Tela
Krezz ini, yang sudah sejak
tahun 2006 memulai bisnis
kemitraan makanan olahan
singkong atau ketela (cassava)
Tela Krezz (singkong goreng
berbumbu).
Kisah Firmansyah membangun
bisnis makanan olahan singkong
dengan bendera Tela Krezz
berawal hanya dari satu grobak
pinjaman ibu-nya dengan modal
awal Rp 200.000. Dari situ ia mulai
memiliki keyakinan bahwa bisnis
makanan olahan dari singkong
sangat berprospek.
Menurutnya, sangat malu sekali
jika Indonesia masih terus
mengimpor bahan baku pangan
yang memang tak bisa
berkembang baik di Indonesia
seperti gandum. Saat ini kata
dia, Indonesia termasuk negara
penghasil singkong terbesar
ketiga di dunia dibawah Brazil.
Keyakinannya akhirnya terjawab,
sekarang ini ia sudah memiliki
ratusan mitra Tela Krezz dengan
omset yang menggiurkan.
Firmansyah terinspirasi
mengangkat pangan singkong
menjadi makanan olahan karena
saat ini pasar pangan dalam
negeri sudah dibanjiri produk
pangan impor seperti kedelai,
tepung gandum, jagung, dan
masih banyak lainnya.
"Ini berawal dari keprihatinan
saya, sekarang ini bahan baku
makanan semuanya gandum,
yang impor. Kenapa tak pakai
content lokal," kata Firmansyah
kepadadetikFinance, akhir
pekan lalu.
Firmansyah yang lulusan Sarjana
Hukum ini, awalnya tak langsung
menceburkan diri ke ranah bisnis.
Semenjak lulus kuliah 2004, ia
masuk LSM bidang pembangunan
komunitas (community
development), dari situlah
matanya terbelalak soal
banyaknya kasus bermasalah TKI
diluar negeri yang harusnya bisa
dicegah jika ada lapangan kerja
di dalam negeri.
"Sekarang saya sudah punya 60
karyawan langsung, belum yang
outsourcing," katanya.
Semangat inovasinya
mengembangkan pangan
singkong bukan hanya sebatas
Tela Krezz, ia juga
mengembangkan produk Tela
Cake semacam brownies dari
singkong, kue Bika Ambon,
Bakpia, Keripik Singkong dan lain-
lain.
"Saya mimpinya kedepan, orang
bisa aware dengan produk lokal
kita, kalau tidak maka kita akan
tergusur," katanya.
Menurut pria kelahiran
Semarang, 5 Desember 1981 ini,
mengolah makanan seperti
singkong yang sudah terlanjur
dipandang sebagai makanan
'ndeso' memang perlu upaya
keras. Konsep makanan Tela ia
kembangkan dengan membuat
makanan singkong lebih moderen
dan menarik.
"Kenapa saya tak mau disebut
sebagai brownies, saya ingin
dengan nama tela cake. Jadi
kalau kita bisa olah dengan
moderen dan dinamis, kita bisa
ubah mindset makanan wong
ndeso ini jadi moderen. Harus
diubah mindsetnya, makanan itu
kan karena kebiasaan," jelasnya.
Untuk urusan pemasaran,
Firmansyah sengaja
mengembangkan pemasaran Tela
Cake dengan konsep makanan
oleh-oleh asli Jogjakarta. Ini
penting untuk memperkuat
image Tela Cake sebagai
makanan khas, meski ia pun
berencana memasarkan produk
tersebut ke pasar ritel umum
namun dengan merek yang
berbeda.
Ia mengaku saat ini mampu
menjual 1000-1500 paket Tela
Cake. Harga satu paket Tela
Cake dibandrol hingga Rp 28.000,
tentunya sudah terbayang
berapa omset dari Firmansyah
dari hanya menjual brownies ala
singkong tersebut. Ini belum
dihitung dari produk Tela Krezz-
nya yang lebih dahulu ia
kembangkan.
Masih seputar pangan lokal,
upaya Firmansyah tak cukup
disitu. Pada tahun 2009 ia juga
mengembangkan produk olahan
cocoa atau kakao menjadi
makanan coklat yang lezat dan
menarik. Kali ini, Firmansyah
membentuk divisi khusus di Tela
Corporation yang menjadi
bendera resmi usahanya.
"Mulai 2009 saya juga membuat
produk coklat roso (cokro), yang
juga berkonsep makanan oleh-
oleh Jogjakarta," jelasnya.
Keinginannya mengembangkan
produk coklat, kurang lebih sama
dengan kegusarannya terhadap
produk tepung pangan impor.
Menurutnya Indonesia,
merupakan penghasil kakao yang
diperhitungkan di dunia, namun
minim memiliki produk olahan
coklat.
Jika pun ada, produk coklat
olahan di pasar Indonesia berasal
dari impor dan bermerek asing. Ia
berharap coklat buatannya bisa
menjadi pilihan pasar dan bisa
mematahkan dominasi produk
coklat asing di pasar Indonesia.
"Visi saya bagaimana melakukan
pemberdayaan pangan lokal,"
katanya.
Sehingga kata dia, dengan
pemberdayaan pangan lokal
serapan tenaga kerja lokal
semakin tinggi misalnya jika
singkong dikembangkan maka
berapa banyak petani yang bisa
hidup, berapa banyak kuli
panggul yang bekerja, berapa
banyak pekerja pemotong
singkong yang terserap dan lain-
lain. Meskipun dengan idealisme
yang tinggi, Firmansyah tak gigit
jari, usahanya yang dirintis sejak
2006 sudah membuahkan hasil
yang fantastis.
"Kalau dihitung-hitung omset
saya sampai ratusan juta per
bulan. Setahun bisa sampai Rp 10
miliar lebih," katanya.
Bagaimana mau mencoba dengan
pangan-pangan lokal lainnya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar