Senin, 30 Mei 2011

Filosofi Hidup 'Kisah Mahaguru Dan Nelayan'

Pada suatu waktu, ada seorang
mahaguru yang ingin
mengambil break dari
kehidupannya sehari-hari
sebagai akademisi. Akhirnya dia
memutuskan untuk pergi ke
sebuah pantai dan meminta
seorang nelayan untuk
membawanya pergi melaut
sampai ke horizon.
Seperempat perjalanan,
mahaguru tersebut bertanya,
"Wahai nelayan, apakah Anda
mengenal ilmu geografi?"
Sang nelayan menjawab, "ilmu
geografi yang saya ketahui
adalah kalau di laut sudah mulai
sering ombak pasang, maka
musim hujan segera akan tiba."
"Nelayan bodoh!" kata
mahaguru tersebut.
"Tahukah kamu bahwa dengan
tidak menguasai ilmu geografi
kamu sudah kehilangan
seperempat kehidupanmu."
Seperempat perjalanan
berikutnya, mahaguru tersebut
bertanya pada nelayan apakah
dia mempelajari ilmu biologi dan
sains? Sang nelayan menjawab
bahwa ilmu biologi yang dia
kenal hanyalah mengetahui jenis
ikan apa saja yang dapat
dimakan. "Nelayan bodoh,
dengan tidak menguasai sains
kamu sudah kehilangan
seperempat kehidupanmu."
Kemudian mahaguru tersebut
bercerita tentang Tuhan yang
menciptakan umat manusia
dengan struktur tubuh, kapasitas
otak yang sama, dan lain-lain.
Selanjutnya mahaguru tersebut
bertanya apakah nelayan
tersebut mempelajari
matematika? Sang nelayan
menjawab bahwa matematika
yang dia ketahui hanyalah
bagaimana cara menimbang
hasil tangkapannya, menghitung
biaya yang sudah
dikeluarkannya, dan menjual
hasil tangkapannya agar dapat
menghasilkan keuntungan
secukupnya. Lagi-lagi mahaguru
tersebut mengatakan betapa
bodohnya sang nelayan dan dia
sudah kehilangan lagi
seperempat kehidupannya.
Kemudian, di perjalanan setelah
jauh dari pantai dan mendekati
horizon, mahaguru tersebut
bertanya, "apa artinya awan
hitam yang menggantung di
langit?"
"Topan badai akan segera
datang, dan akan membuat
lautan menjadi sangat
berbahaya." Jawab sang
nelayan.
"Apakah bapak bisa berenang?"
Tanya sang nelayan.
Ternyata sang mahaguru
tersebut tidak bisa berenang.
Sang nelayan kemudian berkata,
"Saya boleh saja kehilangan tiga-
perempat kehidupan saya
dengan tidak mempelajari tiga
subyek yang tadi diutarakan oleh
mahaguru, tetapi mahaguru
akan kehilangan seluruh
kehidupan yang dimiliki."
Kemudian nelayan tersebut
meloncat dari perahu dan
berenang ke pantai sedangkan
mahaguru tersebut tenggelam.
Demikian juga dalam kehidupan
kita, baik dalam pekerjaan
ataupun pergaulan sehari-hari.
Kadang-kadang kita
meremehkan teman, anak buah
ataupun sesama rekan kerja.
Kalimat "tahu apa kamu" atau "si
anu tidak tahu apa-apa"
mungkin secara tidak sadar
sering kita ungkapkan ketika
sedang membahas sebuah
permasalahan. Padahal, ada
kalanya orang lain lebih
mengetahui dan mempunyai
kemampuan spesifik yang dapat
mengatasi masalah yang timbul.
Seorang operator color mixing
di pabrik tekstil atau cat mungkin
lebih mengetahui hal-hal yang
bersifat teknis daripada
atasannya. Intinya, orang yang
menggeluti bidangnya sehari-
hari bisa dibilang memahami
secara detail apa yang dia
kerjakan dibandingkan orang
'luar' yang hanya tahu 'kulitnya'
saja.
Mengenai kondisi dan kompetisi
yang terjadi di pasar,
pengetahuan seorang marketing
manager mungkin akan kalah
dibandingkan dengan seorang
salesperson atau orang yang
bergerak langsung di lapangan.
Atau sebaliknya, kita sering
menganggap remeh orang
baru. Kita menganggap orang
baru tersebut tidak mengetahui
secara mendalam mengenai
bisnis yang kita geluti. Padahal,
orang baru tersebut mungkin
saja membawa ide-ide baru
yang dapat memberikan
terobosan untuk kemajuan
perusahaan.
Sayangnya, kadang kita
dibutakan oleh ego,
pengalaman, pangkat dan
jabatan kita sehingga mungkin
akan menganggap remeh orang
lain yang pengalaman, posisi
atau pendidikannya di bawah
kita. Kita jarang bertanya pada
bawahan kita. Atau pun kalau
bertanya, hanya sekedar basa-
basi, pendapat dan masukannya
sering dianggap sebagai angin
lalu.
Padahal, kita tidak bisa
bergantung pada kemampuan
diri kita sendiri, kita
membutuhkan orang lain.
Keberhasilan kita tergantung
pada keberhasilan orang lain.
Begitu sebuah masalah muncul
ke permukaan, kita tidak bisa
mengatasinya dengan hanya
mengandalkan kemampuan
yang kita miliki. Kita harus
menggabungkan kemampuan
kita dengan orang lain.
Sehingga bila perahu kita
tenggelam, kita masih akan
ditolong oleh orang lain yang
kita hargai kemampuannya.
Tidak seperti mahaguru yang
akhirnya ditinggalkan di perahu
yang sedang dilanda topan badai
dan dibiarkan mati tenggelam
karena tidak menghargai
kemampuan nelayan yang
membawanya.
Yang jadi pertanyaan kita
sekarang, apakah kita masih
suka bertingkah laku seperti
sang mahaguru? Bila ya,
seberapa sering?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar